
Jakarta – Dua hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul, yang sebelumnya menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa pembunuhan Ronald Tannur, menyatakan tidak mengajukan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 7 tahun dan denda sebesar Rp500 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Keputusan untuk menerima putusan tersebut disampaikan oleh penasihat hukum keduanya, Philipus Harapenta Sitepu, usai mendampingi proses pemindahan kliennya dari Rumah Tahanan (Rutan) Kejaksaan Agung (Kejagung) ke Rutan Salemba, pada Jumat (9/5). Ia menyebutkan bahwa keputusan tersebut diambil setelah keduanya berdiskusi dalam suasana yang tenang dan penuh pertimbangan.
“Keputusan ini diambil karena Pak Erintuah dan Mangapul ingin fokus memperbaiki diri dan keluarganya. Mereka menerima hukuman ini dengan lapang dada dan berkomitmen untuk menjalani proses hukum secara bertanggung jawab,” ujar Philipus dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu (10/5).
Philipus juga menyampaikan permohonan maaf dari kedua kliennya kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya institusi Mahkamah Agung (MA) dan keluarga besar para pencari keadilan. “Kami sangat menyesali kejadian ini dan berharap masyarakat bisa memberi ruang bagi keduanya untuk bertobat dan memperbaiki diri. Mereka berharap kelak dapat menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat ketika kembali ke tengah masyarakat,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Erintuah dan Mangapul terbukti menerima suap dan gratifikasi dalam perkara pembebasan Ronald Tannur, terdakwa pembunuhan yang merupakan anak anggota DPR RI Fraksi PKB. Keduanya dijatuhi hukuman penjara masing-masing selama 7 tahun dan denda Rp500 juta subsidair 3 bulan kurungan penjara.
Putusan tersebut dijatuhkan setelah majelis hakim menyatakan bahwa Erintuah dan Mangapul secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka didakwa berdasarkan dakwaan kumulatif pertama alternatif kedua serta dakwaan kumulatif kedua.
Selain Erintuah dan Mangapul, satu hakim nonaktif lainnya yang turut menangani perkara Ronald Tannur, yakni Heru Hanindyo, juga telah divonis bersalah. Heru dijatuhi pidana penjara selama 10 tahun serta denda Rp500 juta subsidair 3 bulan kurungan oleh majelis hakim karena peran aktifnya dalam perkara suap tersebut.
Dalam konstruksi dakwaan, ketiga hakim diketahui menerima suap senilai total Rp4,67 miliar. Rinciannya terdiri dari uang tunai sebesar Rp1 miliar dan 308.000 dolar Singapura, yang jika dikonversi dengan kurs Rp11.900, mencapai Rp3,67 miliar. Tidak hanya itu, mereka juga menerima gratifikasi dalam berbagai bentuk dan mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat, khususnya dalam perkara pidana berat yang melibatkan kekuasaan dan suap dalam proses peradilan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung diminta mengevaluasi sistem pengawasan internal terhadap perilaku hakim guna menghindari terulangnya praktik serupa di masa mendatang.
Sumber:
https://www.antaranews.com/berita/4826797/dua-hakim-vonis-bebas-ronald-tannur-tak-ajukan-banding-hukuman-7-tahun
https://images.app.goo.gl/W5oETFd6dDHmJ9Hp9