Sidang Kedua Uji Materi UU Hak Cipta APMI Kembali Soroti Legitimasi LMKN

saplawfi | 7 May 2025, 14:17 pm | 61 views

JAKARTA – Para musisi yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) kembali hadir ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka mengikuti sidang kedua pengujian materiil Pasal 89 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Rabu (7/5/2025).

Sidang Perkara Nomor 30/PUU-XXIII/2025 yang digelar di ruang sidang pleno MK tersebut, mengagendakan penyampaian pokok-pokok perbaikan permohonan oleh para Pemohon. Adapun para Pemohon yang hadir yakni M. Ali Akbar (Pemohon I), Ento Setio Wibowarno (Pemohon II), Pamungkas Narashima Murti (Pemohon III), Sugiyatno (Pemohon IV), Muhammad Gusni Putra (Pemohon V), dan Anton Setyo Nugroho (Pemohon VI). Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah selaku Ketua Majelis, dengan didampingi dua anggota majelis, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Dalam keterangannya, Anton Setyo Nugroho menyampaikan bahwa perbaikan permohonan dilakukan terutama pada bagian argumentasi konstitusional terkait keberadaan dan kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dinilai menimbulkan dualisme kelembagaan. Pemohon juga memperluas permohonan dengan menambahkan pengujian atas Pasal 87, Pasal 92, dan Pasal 93 UU Hak Cipta karena dianggap memiliki korelasi langsung dengan pasal-pasal utama yang diuji.

“Bahwa pembentukan LMKN tanpa dasar hukum yang sah telah menimbulkan distorsi kelembagaan yang mencederai prinsip negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,” jelas Anton di hadapan majelis hakim.

Untuk diketahui, para Pemohon I hingga IV merupakan pencipta lagu, Pemohon V adalah penyanyi profesional, sementara Pemohon VI adalah penulis buku, pecinta musik, dan penggagas berdirinya APMI. Dalam sidang pendahuluan yang digelar sebelumnya pada Kamis (24/4/2025), Anton telah menekankan bahwa ketentuan dalam UU Hak Cipta yang diuji telah gagal menciptakan kepastian hukum dalam mekanisme distribusi dan pengelolaan royalti.

Menurut para Pemohon, kaburnya norma-norma tersebut memungkinkan interpretasi sepihak yang justru melahirkan lembaga baru seperti LMKN yang tidak dikenal dalam UU Hak Cipta. Hal ini diperparah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik, yang memperkuat posisi LMKN dalam sistem tanpa kontrol dan akuntabilitas yang memadai. Akibatnya, pencipta lagu sebagai pemegang hak ekonomi justru dirugikan dan kehilangan akses atas hak ekonominya secara adil dan transparan.

Para Pemohon menilai bahwa hal ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tetapi juga melanggar hak milik pribadi yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Royalti sebagai bagian dari hak ekonomi pribadi pencipta tidak boleh dirampas atau dialihkan secara paksa oleh lembaga yang tidak memiliki dasar hukum dalam undang-undang.

Lebih jauh, Pemohon juga menggarisbawahi bahwa pengelolaan royalti oleh LMKN yang dilakukan secara terpusat tanpa partisipasi aktif dari para pencipta telah menyalahi prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Tidak adanya mekanisme yang inklusif bagi para pencipta untuk turut serta dalam menentukan tarif, distribusi, dan pelaporan royalti telah menciptakan kesenjangan kekuasaan yang rawan disalahgunakan.

Pasal 89 ayat (1)–(4) yang dijadikan dasar hukum pembentukan LMKN, menurut Pemohon, tidak memuat norma perintah pembentukan lembaga khusus seperti LMKN, melainkan hanya memberi arahan umum tentang kewenangan pengelolaan hak ekonomi. Ketentuan Pasal 1 butir 22 UU Hak Cipta hanya menyebut tentang Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), yaitu badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Namun tidak satu pun ketentuan dalam UU Hak Cipta menyebut eksistensi maupun atribusi kewenangan LMKN.

Dalam praktiknya, LMK telah lama menjalankan fungsi pengelolaan hak ekonomi secara langsung dan demokratis bersama para pencipta. Sementara kehadiran LMKN justru menciptakan dualisme kewenangan dan kerancuan dalam distribusi royalti. Ketidakjelasan regulasi ini membuat para pencipta sulit memperoleh royalti secara tepat waktu dan proporsional.

Dengan dasar-dasar tersebut, para Pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan norma-norma yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, guna mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hak ekonomi, dan keadilan bagi para pencipta musik di Indonesia.

Sumber: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=23183

Berita Terkait