Uji Materiil Pasal 89 UU Hak Cipta ke MK

saplawfi | 24 April 2025, 12:56 pm | 22 views

Jakarta – Enam warga negara Indonesia yang terdiri dari para musisi, pencipta lagu, penyanyi, dan pecinta musik, yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI), secara resmi mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap Pasal 89 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan tersebut teregister dengan Nomor Perkara 30/PUU-XXIII/2025 dan telah memasuki tahap pemeriksaan pendahuluan yang digelar pada Kamis (24/4/2025) di Gedung MK, Jakarta.

Adapun para Pemohon dalam perkara tersebut, yaitu:

  1. M. Ali Akbar (Pemohon I)
  2. Ento Setio Wibowarno (Pemohon II)
  3. Pamungkas Narashima Murti (Pemohon III)
  4. Sugiyatno (Pemohon IV)
  5. Muhammad Gusni Putra (Pemohon V)
  6. Anton Setyo Nugroho (Pemohon VI)

Pemohon I–IV adalah pencipta lagu; Pemohon V adalah penyanyi; dan Pemohon VI adalah penulis buku dan pecinta musik Indonesia sekaligus inisiator yang membentuk Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI).

Sorotan terhadap Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)

Pasal 89 UU Hak Cipta memberikan dasar hukum bagi pembentukan dua Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) nasional yang mewakili kepentingan pencipta dan pemilik hak terkait untuk menarik, menghimpun, serta mendistribusikan royalti dari pengguna secara komersial. Namun, para Pemohon menilai bahwa ketentuan tersebut telah disalahgunakan dengan membentuk lembaga baru yang tidak diatur secara eksplisit dalam UU Hak Cipta, yakni Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Menurut para Pemohon, keberadaan LMKN yang mengklaim sebagai pelaksana sentral penghimpunan dan pendistribusian royalti melalui PP Nomor 56 Tahun 2021 telah menimbulkan problematika hukum yang serius. Mereka menilai pembentukan LMKN sebagai bentuk penyimpangan dari norma induknya (ultra vires) dan tidak memiliki dasar hukum yang sah. Hal ini telah menciptakan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam sistem pengelolaan royalti lagu dan musik di Indonesia.

Kritik Terhadap Sentralisasi dan Ketidakterlibatan Pencipta

Dalam persidangan, Anton Setyo Nugroho menekankan bahwa ketentuan Pasal 89 UU Hak Cipta telah melahirkan mekanisme pengelolaan royalti yang menyingkirkan peran aktif para pencipta lagu. Pengelolaan royalti dilakukan secara tersentralisasi oleh LMKN tanpa partisipasi yang memadai dari para pemilik hak ekonomi atas karya cipta, yang justru bertentangan dengan semangat demokrasi ekonomi sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Anton juga menjelaskan bahwa banyak pencipta lagu tidak mendapatkan hak ekonominya secara utuh dan tepat waktu akibat keterlambatan distribusi serta tidak adanya transparansi mekanisme yang dijalankan LMKN. Selain itu, tidak ditemukan penjelasan dalam UU Hak Cipta mengenai keberadaan LMKN, sedangkan definisi resmi dalam Pasal 1 angka 22 hanya menyebutkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai lembaga yang sah dan diberi kuasa oleh pemilik hak cipta.

Permohonan Pemohon dan Tuntutan Reformasi Regulasi

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan bahwa frasa “nasional” dalam Pasal 89 ayat (1) tidak boleh ditafsirkan sebagai dasar pembentukan entitas baru bernama LMKN. Para Pemohon meminta agar pengelolaan royalti tetap berada di tangan LMK yang telah ada sebelumnya dan berfungsi atas dasar perwakilan langsung dari pencipta dan pemilik hak cipta. Mereka juga mendesak pembentuk undang-undang agar merevisi UU Hak Cipta untuk mengatur secara lebih jelas dan adil mengenai tata kelola royalti dan pelibatan pemangku kepentingan secara demokratis.

Catatan dan Arahan Mahkamah Konstitusi

Dalam nasihatnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar para Pemohon menjelaskan secara lebih terperinci mengenai kerugian konstitusional yang dialami akibat keberlakuan norma yang diujikan. Ia juga menyoroti adanya ketidakkonsistenan dalam petitum yang perlu diperjelas apakah permohonan bertujuan untuk menyatakan norma inkonstitusional secara keseluruhan atau bersyarat.

Senada dengan itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengingatkan pentingnya pemaparan yang lebih sistematis dalam permohonan, termasuk uraian mengenai legal standing masing-masing Pemohon. Ia menyarankan agar kerugian yang bersifat faktual maupun potensial dijelaskan secara eksplisit, disesuaikan dengan latar belakang dan posisi masing-masing Pemohon. Mahkamah memberikan tenggat waktu selama 14 hari kalender kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan hingga 7 Mei 2025, sebelum sidang lanjutan diagendakan.

Sumber: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=23105
Berita Terkait