Kuasa hukum eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, Annisa E. F. Ismail, menegaskan bahwa Pasal 21 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengandung sifat “karet” dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Pernyataan tersebut ia sampaikan ketika membacakan dalil-dalil permohonan uji materiil terhadap Pasal 21 UU Tipikor dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Pasal 21 UU Tipikor mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. Menurut Annisa, norma tersebut tidak memiliki batasan dan rambu-rambu yang jelas, terutama dalam menafsirkan frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan,” sehingga berpotensi mengkriminalisasi tindakan-tindakan yang sebenarnya merupakan upaya hukum yang sah.
Ia mencontohkan, penggunaan instrumen pra-peradilan oleh tersangka atau pihak terkait yang bertujuan untuk membatalkan atau menunda proses penyidikan dan penuntutan bisa saja dianggap sebagai “menggagalkan” proses hukum, meskipun langkah itu merupakan hak hukum yang dijamin undang-undang. “Apakah suatu upaya hukum yang sah, seperti pra-peradilan, dapat dimaknai sebagai bagian dari perbuatan menggagalkan penyidikan atau penuntutan? Pasal ini tidak memberikan kejelasan,” ujarnya.
Annisa menambahkan, ketiadaan unsur “melawan hukum” dalam rumusan Pasal 21 semakin memperluas potensi penyalahgunaan pasal tersebut oleh aparat penegak hukum. Padahal, kata dia, ketika DPR RI membahas ketentuan obstruction of justice ini, sempat terjadi perdebatan panjang mengenai perlunya memasukkan unsur “melawan hukum” sebagai pembatas yang jelas, namun hasil akhirnya tetap mengadopsi rumusan yang tidak tegas.
“Dengan sifat ‘karet’ yang melekat pada Pasal 21, maka prinsip-prinsip pembatasan yang sah harus dipertimbangkan demi menjamin perlindungan hak-hak konstitusional warga negara dan kepastian hukum,” lanjutnya.
Dalam petitum permohonannya, tim kuasa hukum Hasto meminta MK memberikan tafsir baru atau mengubah norma Pasal 21 dengan menambahkan frasa “secara melawan hukum” dalam perbuatan mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Selain itu, unsur perbuatan harus dilakukan melalui sarana yang konkret seperti kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji memberikan keuntungan yang tidak pantas.
Pihaknya juga meminta MK menegaskan bahwa frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” bersifat kumulatif, sehingga seseorang hanya dapat dipidana jika terbukti melakukan perbuatan menghalangi di ketiga tahap tersebut sekaligus. Dengan demikian, pelaku yang hanya merintangi pada satu tahap, misalnya tahap penyidikan saja, tidak dapat serta-merta dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor.
“Frasa ‘dan pemeriksaan di sidang pengadilan’ menunjukkan bahwa unsur-unsur delik harus terjadi secara bersamaan atau berurutan, bukan parsial. Jadi, perbuatan yang hanya menghalangi di tahap penyidikan tanpa memengaruhi penuntutan dan persidangan tidak bisa dikualifikasikan sebagai obstruction of justice,” jelas Annisa.
Dalam usulan rumusan baru yang diajukan, Pasal 21 seharusnya berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, maupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 600.000.000,00.”
https://images.app.goo.gl/XGncBpuhWPSHWXAKA

