
Dalam praktik hukum, kesepakatan mengenai honorarium antara seorang advokat dan kliennya merupakan kontrak yang bersifat privat dan mengikat. Sebagaimana halnya dalam hubungan kontraktual lainnya, kesepakatan ini harus dihormati oleh kedua belah pihak selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, seorang advokat tidak perlu merasa khawatir sepanjang ia telah menjalankan tugasnya secara profesional, menaati kode etik, dan mematuhi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Baru-baru ini, perhatian publik tertuju pada mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, yang kini berprofesi sebagai advokat. Kantor hukumnya, Visi Law Office, digeledah oleh KPK dalam rangka penyelidikan lebih lanjut. Febri mengungkapkan bahwa penggeledahan tersebut dilakukan saat ia sedang mengadakan rapat dengan Tim Hukum Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Febri sebelumnya pernah menjadi kuasa hukum Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang kini telah divonis bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi. KPK menyoroti honorarium yang diterima Febri dari SYL, terutama setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Isu ini kemudian menimbulkan perdebatan terkait legitimasi penerimaan honorarium advokat, khususnya dalam kasus yang melibatkan tindak pidana korupsi.
Prinsip Profesionalisme dan Perlindungan Profesi Advokat
Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI), TM. Luthfi Yazid, menanggapi polemik ini dengan menegaskan bahwa advokat, KPK, kepolisian, kejaksaan, dan hakim sebagai sesama penegak hukum seharusnya saling menghormati tugas dan profesi masing-masing. Dalam sistem hukum yang berlandaskan prinsip rechsstaat (negara hukum), seluruh aparat penegak hukum harus memegang teguh asas profesionalisme dan menjunjung tinggi supremasi hukum.
Selain itu, konstitusi Indonesia (UUD 1945) secara tegas menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mencari nafkah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara itu, Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Sebagai officium nobile (profesi terhormat), advokat memiliki hak untuk memperoleh honorarium atas jasa hukum yang diberikan. Sama seperti dokter yang menerima honor setelah memberikan layanan medis, advokat juga berhak menerima imbalan atas kerja profesionalnya. Oleh karena itu, menurut Luthfi Yazid, tidaklah wajar jika seorang advokat harus terlebih dahulu menanyakan kepada kliennya mengenai asal-usul dana yang digunakan untuk membayar jasa hukum.
“Apakah seorang dokter atau advokat sebelum atau saat menerima honorarium dari kliennya atau pasiennya harus menanyakan terlebih dahulu: ‘Apakah uang yang akan Saudara bayarkan adalah uang haram atau halal? Apakah uang yang akan Saudara bayarkan berasal dari hasil korupsi atau bukan?’” ujar Luthfi Yazid.
Menurutnya, pertanyaan semacam itu tidak elok dan tidak lazim dalam praktik profesional. Yang lebih penting adalah asas legalitas, yang mengatur bahwa setiap tindakan hukum harus memiliki dasar hukum yang jelas.
Asas Legalitas dan Hak Advokat atas Honorarium
Asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada. Prinsip ini dikenal sebagai nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege, yang berarti seseorang hanya dapat dikenakan hukuman apabila telah ada aturan yang mengaturnya sebelumnya.
Dalam konteks honorarium advokat, tidak ada ketentuan dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengatur soal halal-haramnya honorarium. Pasal 21 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa “Advokat berhak mendapatkan honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya.” Sementara itu, Pasal 21 ayat (2) menegaskan bahwa “Besarnya honorarium ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan antara advokat dan kliennya.”
Dari ketentuan ini, jelas bahwa hubungan antara advokat dan klien dalam hal pembayaran jasa bersifat kontraktual dan sah secara hukum. Dengan demikian, selama tidak ada peraturan yang secara eksplisit melarang penerimaan honorarium dari seorang tersangka atau terdakwa, tidak ada dasar hukum untuk mempersoalkan penerimaan honorarium oleh advokat, kecuali jika terbukti ada keterlibatan dalam tindak pidana yang sedang disidik.
Perlindungan Profesi Advokat dalam Revisi KUHAP
Melihat situasi yang dihadapi oleh advokat seperti Febri Diansyah, Luthfi Yazid menekankan pentingnya perlindungan hukum bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Oleh karena itu, dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang saat ini tengah dibahas, ia mendorong DPR, khususnya Komisi III DPR RI, untuk memperkuat posisi advokat sebagai penegak hukum.
Sebagaimana polisi, jaksa, hakim, dan KPK yang memiliki kewenangan dalam sistem peradilan, advokat juga merupakan bagian integral dari sistem hukum yang bertujuan untuk menegakkan keadilan bagi semua (Justitia Omnibus). Oleh karena itu, advokat harus mendapatkan perlindungan yang memadai agar dapat menjalankan tugasnya tanpa intervensi yang menghambat prinsip independensi dan profesionalisme.
Sumber berita:
https://www.hukumonline.com/berita/a/dpr-diminta-perkuat-perlindungan-hukum-terhadap-advokat-lewat-ruu-kuhap-lt67e10913d4ca1/?page=all
Sumber foto:
https://images.app.goo.gl/qNVxezmPavJy7zYh9