RUU KUHAP dan KPK: Haruskah KPK Tunduk pada Aturan Penyadapan yang Baru?

saplawfi | 26 March 2025, 09:19 am | 16 views

Saat ini, parlemen tengah membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang di dalamnya mencakup ketentuan baru mengenai mekanisme penyadapan oleh aparat penegak hukum. Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah keharusan mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyadapan, kecuali dalam keadaan mendesak.

Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa kewenangannya dalam melakukan penyadapan tidak terikat oleh ketentuan dalam draf revisi KUHAP. Hal ini karena KPK memiliki landasan hukum yang bersifat lex specialis, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang mengatur mekanisme penyadapan secara khusus dan berbeda dari aturan yang berlaku bagi aparat penegak hukum lainnya.

Ketentuan Penyadapan dalam Revisi KUHAP

Dalam Pasal 124 hingga Pasal 128 draf revisi KUHAP, penyadapan diatur sebagai berikut:

  1. Kewajiban Izin dari Pengadilan Negeri. Pasal 124 ayat (2) mengatur bahwa penyadapan yang dilakukan oleh penyidik, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), atau penyidik tertentu harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan negeri. Penyadapan tanpa izin hanya dapat dilakukan dalam keadaan mendesak, seperti adanya ancaman bahaya maut, permufakatan jahat terhadap keamanan negara, atau keterlibatan dalam tindak pidana terorganisasi (Pasal 124 ayat 3).
  2. Batasan Waktu dan Persetujuan Lanjutan. Penyadapan dalam kondisi darurat harus segera mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1 hari sejak dilakukan (Pasal 124 ayat 5). Jika ketua pengadilan menolak memberikan izin, penyadapan harus dihentikan, dan hasilnya tidak boleh dijadikan barang bukti serta wajib dimusnahkan (Pasal 124 ayat 6).
  3. Jangka Waktu dan Penyimpanan Hasil Penyadapan. Penyadapan hanya dapat dilakukan maksimal 30 hari dan dapat diperpanjang atas izin ketua pengadilan negeri (Pasal 125). Hasil penyadapan harus disimpan hingga adanya putusan pengadilan, dan jika tidak relevan dengan perkara, wajib dimusnahkan (Pasal 126 & 127).
  4. Kerahasiaan Hasil Penyadapan. Pasal 128 menegaskan bahwa hasil penyadapan bersifat rahasia, sehingga akses terhadapnya harus dibatasi secara ketat.

Dengan ketentuan ini, revisi KUHAP mencoba memperketat prosedur penyadapan untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang. Namun, aturan ini tidak berlaku bagi KPK, yang memiliki kewenangan penyadapan berdasarkan undang-undang tersendiri.

Pengecualian bagi KPK: Lex Specialis dalam Penyadapan

KPK menegaskan bahwa aturan penyadapan dalam draf revisi KUHAP tidak akan berdampak pada mekanisme penyadapan yang selama ini dijalankannya. Menurut Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, lembaga antikorupsi tersebut menjalankan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang KPK, yang memiliki prinsip lex specialis derogat legi generalis—aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum.

Hal ini diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang memberikan kewenangan kepada lembaga tersebut untuk melakukan penyadapan tanpa perlu meminta izin dari pengadilan. Sebagai gantinya, penyadapan hanya memerlukan persetujuan dari pimpinan KPK, sebagaimana dijelaskan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman.

Menurut Boyamin, prinsip lex specialis memungkinkan KPK untuk tetap menjalankan mekanisme penyadapan sesuai dengan aturan internalnya, tanpa harus mengikuti ketentuan revisi KUHAP. Praktik ini juga telah berlangsung lama, di mana KPK dapat melakukan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan tanpa perlu mendapatkan izin dari pengadilan negeri.

Sumber berita:
https://news.detik.com/berita/d-7841897/sadap-menyadap-di-revisi-kuhap-tapi-ada-asas-khusus-bagi-kpk?page=2

Sumber foto:
https://images.app.goo.gl/haUbqdRQhY63gwwb9

Berita Terkait