Revisi UU TNI: Potensi Kembalinya Dwifungsi Militer dalam Pemerintahan

saplawfi | 17 March 2025, 07:03 am | 18 views

Jakarta – Komisi I DPR RI dan Pemerintah diam-diam membahas revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat. RUU ini memperluas peluang prajurit aktif menempati jabatan sipil, dari 10 institusi menjadi 16, termasuk BNPB, BNPT, Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung. Bahkan, Komisi I DPR RI juga mengusulkan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

Pembahasan ini mendapat penolakan dari aktivis masyarakat sipil yang mencoba memasuki ruang rapat tetapi mendapat perlakuan represif dari aparat. Setelah aksi protes, area hotel dijaga ketat oleh militer, menunjukkan upaya untuk membatasi partisipasi publik dalam diskusi revisi UU TNI.

Pasal 47 RUU TNI menjadi sorotan karena memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di berbagai kementerian/lembaga berdasarkan kebijakan Presiden. Frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif” membuka peluang intervensi militer dalam ranah sipil secara luas.

Ekspansi peran militer ini dikhawatirkan menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. Alih-alih menjaga stabilitas, keterlibatan militer dalam jabatan sipil justru berisiko melemahkan supremasi sipil dan mengarah pada pemerintahan otoriter.

Dari perspektif hukum, revisi UU TNI seharusnya berbasis kajian ilmiah yang kuat. Namun, Naskah Akademik yang menyertainya lebih berisi pembenaran daripada analisis mendalam. Ini menimbulkan pertanyaan apakah revisi ini benar-benar demi kepentingan nasional atau sekadar mengakomodasi kepentingan politik tertentu.

Dalam tata kelola pemerintahan, militer yang memiliki struktur hierarkis tidak dirancang untuk menjalankan fungsi administratif yang memerlukan fleksibilitas dan akuntabilitas. Keterlibatan mereka dalam ranah sipil justru dapat menimbulkan ketimpangan kekuasaan dan merusak mekanisme checks and balances.

Pembahasan revisi UU TNI yang tertutup serta dijaga militer bertentangan dengan prinsip partisipasi publik yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masyarakat seharusnya diberikan hak untuk menyampaikan pendapat, dipertimbangkan masukannya, dan mendapatkan penjelasan atas revisi yang diusulkan.

Keterlibatan militer dalam proses legislasi juga menunjukkan kemunduran demokrasi. Undang-undang harus dibuat secara transparan dan demokratis, bukan melalui tekanan dan dominasi kekuatan militer. Campur tangan ini memperlihatkan pola otoritarianisme dalam pengambilan kebijakan negara.

Reformasi demokrasi pasca-Orde Baru dibangun dengan susah payah untuk menempatkan militer di bawah kontrol sipil. Jika revisi UU TNI ini disahkan tanpa pengawasan ketat, Indonesia berisiko kembali ke masa di mana militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan sipil.

Kini, pertanyaannya: Apakah revisi ini benar-benar demi kepentingan nasional atau sekadar membuka jalan bagi militerisme yang sudah seharusnya ditinggalkan? Masyarakat harus kritis dan terus mengawal agar demokrasi tidak tergeser oleh kepentingan elite yang ingin mengembalikan supremasi militer.

 

Sumber berita:

https://www.hukumonline.com/berita/a/karut-marut-partisipasi-publik-yang-bermakna-dalam-revisi-uu-tni-lt67d79562848ef/?page=all

sumber foto:
https://images.app.goo.gl/hx1smP6AYRmTaBDa9

Berita Terkait