JAKARTA – Aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dan kekerasan dalam beberapa waktu terakhir memicu kritik tajam dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Menanggapi instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menindak tegas demonstran yang dianggap anarkis, Direktur Eksekutif PSHK, Rizky Argama, menilai respons tersebut sebagai langkah yang keliru dan tidak peka terhadap situasi yang sedang terjadi. Menurutnya, alih-alih menyelesaikan masalah, perintah tersebut justru mengabaikan akar persoalan yang memicu gelombang protes.
“Presiden seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat keamanan dalam mengawal jalannya demonstrasi, bukan malah menyalahkan para demonstran yang hanya menyuarakan aspirasi mereka,” tegas Rizky dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Hukumonline pada Minggu (31/8/2025).
Ia menegaskan, hak untuk berdemonstrasi adalah manifestasi kebebasan berpendapat yang dilindungi secara konstitusional. Hal ini secara jelas dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945 dan diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Oleh karena itu, tugas negara, melalui aparat keamanan, adalah memastikan hak tersebut dapat dijalankan dengan aman tanpa adanya intimidasi atau kekerasan.
Rizky menyoroti cara pengamanan yang dilakukan aparat dalam sepekan terakhir, yang dinilai menunjukkan penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force). Praktik represif ini bahkan disebutnya telah mengakibatkan korban jiwa, termasuk salah satunya adalah Affan Kurniawan. Situasi tragis ini, menurut Rizky, menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat di ruang publik secara aman.
Lebih lanjut, Rizky, yang juga dikenal sebagai pakar hukum tata negara, menganggap penggunaan narasi “demonstrasi anarkis” oleh presiden dan instruksi untuk menindak tegas peserta aksi adalah sebuah kekeliruan fatal. Narasi tersebut, selain tidak tepat sasaran, juga berpotensi memecah belah warga dan menggiring opini publik seolah-olah para demonstran tidak mewakili aspirasi masyarakat secara luas.
“Presiden seharusnya memerintahkan pihak penegak hukum untuk kembali pada koridor perlindungan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998,” imbuhnya.
Kritikan terhadap Keterlibatan TNI dan Kinerja DPR
Selain itu, PSHK juga melayangkan kritik keras terhadap keputusan pemerintah yang menurunkan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengamanan aksi demonstrasi. Rizky menilai langkah ini sebagai sebuah kekeliruan serius karena TNI tidak memiliki mandat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melainkan bertanggung jawab penuh pada pertahanan negara.
“Kehadiran TNI dalam aksi-aksi demonstrasi bukan saja menimbulkan kesan keliru bahwa mereka dapat mengambil alih tugas Polri, tetapi juga merupakan bentuk militerisasi pada sektor-sektor yang berada di luar kewenangan TNI,” jelas Rizky.
Ia mengingatkan bahwa instruksi presiden kepada TNI dan Polri untuk menindak tegas demonstran berpotensi memperkuat watak militeristik dalam penanganan massa. Pendekatan ini tidak hanya berisiko menimbulkan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering) bagi warga sipil, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat secara lebih luas.
“Presiden seharusnya fokus pada penanganan krisis keamanan dengan melakukan evaluasi cepat dan menyeluruh atas institusi-institusi yang berada di bawah kewenangannya,” lanjutnya.
Tak hanya pemerintah, peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menjadi sorotan tajam. Rizky menilai sejumlah pernyataan dan tindakan anggota DPR yang dinilai tidak empatik terhadap kondisi masyarakat telah menjadi salah satu pemicu utama kemarahan publik. Ia menyarankan agar DPR segera mengevaluasi para anggotanya yang gagal menunjukkan empati di tengah kondisi ekonomi yang terpuruk.
PSHK Desak Presiden Pecat Kapolri dan Minta Maaf kepada Rakyat
Dalam sikap resminya, PSHK menyampaikan lima desakan mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk mengembalikan kepercayaan publik, yang diantaranya yaitu:
- PSHK mendesak Presiden untuk segera memberhentikan Kapolri, karena dinilai gagal mengamankan jalannya demonstrasi, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
- Presiden harus memerintahkan Panglima TNI menarik seluruh pasukan kembali ke barak dan tidak lagi terlibat dalam pengamanan aksi massa.
- Ketiga, PSHK mendesak Presiden untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia atas kekacauan yang terjadi, sekaligus mengakui lemahnya kepemimpinan selama hampir setahun masa jabatannya.
- Keempat, Ketua DPR, para ketua fraksi, dan pimpinan partai politik diminta untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap para anggota DPR yang memicu amarah publik, sekaligus mendorong Badan Kehormatan DPR untuk memeriksa dugaan pelanggaran etik.
- Kelima, PSHK menuntut DPR segera membatalkan kenaikan tunjangan anggotanya dan mengembalikan pada kebijakan sebelumnya. “Pembatalan ini adalah respons minimal atas tuntutan para demonstran sekaligus wujud empati terhadap kondisi sulit yang dihadapi masyarakat saat ini,” tutupnya.
https://share.google/images/v4fJyAG6adU9V35mg

