Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Prof. Topo Santoso, dalam orasi ilmiah yang digelar pada Selasa (9/9) menyoroti secara kritis tahapan proses hukum yang rawan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, terdapat dua titik krusial dalam sistem peradilan pidana yang sering menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, yaitu tahap penyidikan dan tahap penuntutan.
Prof. Topo menegaskan bahwa praktik penyalahgunaan wewenang oleh aparat penyidik kerap kali terjadi, misalnya dalam bentuk penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maupun melalui pemberian tekanan terhadap tersangka saat dimintai keterangan, yang jelas bertentangan dengan Pasal 117 KUHAP. Ia menilai praktik tersebut bukan sekadar pelanggaran prosedural, tetapi pelanggaran serius terhadap HAM karena merusak prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang menjadi fondasi utama sistem peradilan modern.
Pada tahap penuntutan, meskipun kewenangan jaksa penuntut umum telah dibatasi secara normatif, potensi pelanggaran HAM tetap terbuka. Contohnya, penahanan yang tidak sah atau dilakukan secara berlebihan, penyembunyian barang bukti yang sebenarnya menguntungkan bagi terdakwa, hingga penyalahgunaan diskresi penuntutan yang seharusnya dijalankan secara hati-hati. Menurut Prof. Topo, praktik seperti ini tidak hanya merugikan terdakwa, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Lebih jauh, Prof. Topo menekankan bahwa penyidikan pada dasarnya bertujuan untuk menemukan kebenaran materil demi tercapainya keadilan substantif. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa proses penyidikan sering dipenuhi praktik manipulatif, seperti fabrikasi atau rekayasa bukti. Dari perspektif filosofis, tindakan semacam itu jelas bertentangan dengan prinsip pencarian kebenaran yang sejak masa klasik telah dikemukakan oleh Plato dalam The Republic. Secara teoritis, manipulasi bukti juga menggerus validitas pembuktian, sehingga dapat berujung pada putusan yang tidak adil, sebagaimana diperingatkan oleh Stephen dalam A Digest of the Law of Evidence.
Dalam hukum positif Indonesia, praktik manipulasi bukti tegas dilarang oleh KUHP maupun KUHAP. Namun, secara historis, permasalahan ini bukanlah hal baru, melainkan fenomena klasik yang juga dihadapi sistem peradilan di berbagai negara. Amerika Serikat, misalnya, menerapkan Brady Rule yang mewajibkan jaksa untuk mengungkapkan bukti yang meringankan terdakwa. Sementara itu, di Indonesia, fenomena “penemuan barang bukti” narkoba yang sering muncul dalam pemberitaan menjadi indikator adanya potensi manipulasi bukti, sehingga memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja aparat penyidik.
Selain manipulasi bukti, Prof. Topo juga menyoroti tindakan intrusif seperti penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan. Menurutnya, tindakan tersebut, apabila dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas, berpotensi melanggar hak privasi individu. Secara filosofis, hak atas privasi merupakan bagian integral dari martabat manusia, sebagaimana ditegaskan oleh Kant dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals. Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 4/PUU-XIII/2015 telah mengakui hak privasi sebagai hak fundamental yang dilindungi konstitusi. Walaupun KUHAP sudah memberikan batasan prosedural terhadap tindakan intrusif tersebut, dalam praktiknya sering muncul penyalahgunaan dengan alasan kepentingan penyidikan.
Isu diskriminasi juga tidak luput dari perhatian. Prof. Topo mengingatkan bahwa diskriminasi dalam penyidikan, baik berdasarkan ras, agama, etnisitas, maupun status sosial, merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). Praktik diskriminatif tersebut bisa berupa penargetan selektif, penggunaan kekuatan berlebihan, hingga pembatasan akses bantuan hukum. Hal ini jelas bertentangan dengan instrumen HAM internasional, antara lain Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Pasal 1 dan 7 serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) Pasal 2 dan 26.
Prof. Topo mengingatkan bahwa kurangnya akuntabilitas aparat penegak hukum dapat menciptakan ruang impunitas yang berbahaya. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif, aparat dapat bertindak sewenang-wenang, sehingga menimbulkan pelanggaran HAM secara sistematis. Dalam konteks ini, ia juga menyinggung kasus Tom Lembong yang baru-baru ini menjadi sorotan publik.
Menurutnya, dalam perkara tersebut sejumlah pengamat berpendapat bahwa seseorang bisa dihukum meskipun tanpa adanya mens rea (unsur kesalahan batiniah). Ia menegaskan ketidaksetujuannya terhadap pandangan itu. “Saya terkejut ada pengamat yang menyatakan hal tersebut, yang pasti bukan belajar di Jentera,” ujarnya, yang kemudian disambut tawa para hadirin.
Lebih lanjut, Prof. Topo mengkritik penerapan teori strict liability yang digunakan secara keliru oleh hakim dalam memutus perkara. Menurutnya, prinsip hukum pidana Indonesia secara tegas menganut asas nullum crimen sine culpa (tiada pidana tanpa kesalahan). Konsep mens rea menjadi salah satu pengejawantahan dari asas tersebut, sehingga tidak dapat diabaikan kecuali dalam pengecualian yang sangat terbatas.
“Prinsip dasar hukum pidana menegaskan bahwa seseorang tidak boleh dipidana tanpa adanya kesalahan. Konsep mens rea harus tetap dijunjung, kecuali pada beberapa pengecualian yang sifatnya limitatif. Penerapan strict liability dalam perkara yang jelas-jelas terdapat unsur kesalahan adalah bentuk kekeliruan yang fatal,” pungkasnya.

