Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar lagu, baik lokal maupun mancanegara, di ruang-ruang komersial wajib membayar royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Hal ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang secara tegas mengatur perlindungan terhadap karya cipta, termasuk dalam bentuk lagu dan/atau musik.
“Baik itu lagu luar negeri maupun lagu lokal, kewajiban membayar royalti tetap berlaku. Ini adalah ketentuan undang-undang yang wajib ditaati oleh semua pelaku usaha,” ujar Supratman dalam pernyataannya di Auditorium BPSDM Hukum, Cinere, Depok, Selasa (29/7/2025).
Tak hanya menyasar pelaku usaha dalam negeri, Supratman juga mendorong agar platform internasional yang menyediakan layanan streaming musik turut membayar royalti kepada para pencipta lagu. Usulan tersebut telah disampaikan secara resmi dalam forum internasional World Intellectual Property Organization (WIPO) General Assembly di Jenewa, Swiss, dalam bentuk inisiasi Protokol Jakarta.
“Kami dari Kementerian Hukum telah mengusulkan Protokol Jakarta dalam forum General Assembly di Jenewa. Harapannya, platform-platform internasional yang beroperasi secara global juga memiliki kewajiban membayar royalti yang adil kepada para pencipta lagu dari Indonesia,” jelasnya.
Supratman menekankan bahwa musik merupakan bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, negara berkepentingan untuk memastikan bahwa hak-hak ekonomi para pencipta, musisi, dan pemegang hak terkait dapat terlindungi dan dihargai secara layak.
“Setiap bentuk kekayaan intelektual, baik itu ciptaan, paten, merek, maupun desain industri, harus dihargai karena memiliki nilai ekonomi. Perlindungan hak cipta adalah bentuk penghormatan terhadap kerja intelektual,” tegasnya.
Skema Pembayaran Royalti untuk Ruang Usaha dan Non-Musik
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham menyatakan bahwa kewajiban membayar royalti tidak hanya berlaku untuk bisnis yang secara langsung menjual musik, tetapi juga bagi semua pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik. Ini mencakup restoran, kafe, pusat kebugaran, toko, hotel, bahkan klinik dan tempat cukur rambut.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menjelaskan bahwa langganan layanan streaming seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music hanya mencakup penggunaan pribadi (non-komersial). Ketika musik dari layanan tersebut diputar di ruang publik untuk mendukung kegiatan usaha, maka dibutuhkan lisensi tambahan yang sah melalui mekanisme pembayaran royalti.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika digunakan di ruang usaha yang terbuka untuk umum, maka hal itu telah masuk kategori penggunaan komersial dan wajib memperoleh izin melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN),” ujar Agung dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/7/2025).
LMKN sebagai Wadah Pengelola dan Distribusi Royalti
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, LMKN ditunjuk sebagai lembaga resmi untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Skema ini bertujuan menciptakan transparansi dan keadilan dalam industri musik, serta memberikan kemudahan bagi pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi dari masing-masing pencipta lagu secara individu.
“Model ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan jaminan hak ekonomi bagi para pencipta. Ini adalah bentuk ekosistem kreatif yang sehat dan berkeadilan,” tambah Agung.
Kekhawatiran dan Solusi bagi Pelaku Usaha
Menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang menyatakan akan menghentikan pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti, Agung menyatakan bahwa tindakan semacam itu justru merugikan industri kreatif nasional.
“Musik adalah bagian dari identitas budaya dan ekspresi kreatif bangsa. Menyingkirkan musik lokal hanya karena ingin menghindari royalti sama saja dengan mematikan ruang apresiasi bagi para seniman tanah air,” ungkapnya.
Pelaku usaha yang tidak memiliki anggaran besar masih dapat menjalankan operasionalnya tanpa melanggar hukum. Beberapa alternatif pemutaran musik yang sah tanpa kewajiban royalti antara lain: menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free), musik dengan lisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial, musik ciptaan sendiri, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen.
Namun Agung juga mengingatkan bahwa klaim “musik bebas hak cipta” sering kali menyesatkan. Banyak karya yang dikira tidak dilindungi ternyata masih berada dalam perlindungan hak cipta dan dapat menimbulkan konsekuensi hukum jika digunakan tanpa izin.
Skema Digital dan Perlindungan bagi UMKM
Untuk mempermudah proses pembayaran royalti, LMKN telah menyediakan sistem digital yang memungkinkan pelaku usaha mendaftarkan ruang usaha dan menghitung besaran royalti berdasarkan jenis usaha, kapasitas pengunjung, dan luas area pemutaran musik. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat telah lama menerapkan sistem serupa.
DJKI juga menegaskan bahwa skema ini tidak dimaksudkan untuk menambah pendapatan negara, melainkan untuk memberikan kepastian hukum serta perlindungan terhadap pelaku industri kreatif dalam negeri.
Bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), tersedia mekanisme keringanan dan pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN. Agung mengimbau agar pelaku UMKM tidak ragu mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar tetap terlindungi secara hukum dan mendukung perkembangan industri musik nasional.
Sanksi atas Pelanggaran dan Imbauan Pemerintah
Pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran royalti dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Hak Cipta. Namun demikian, pemerintah mengedepankan pendekatan mediasi terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke proses hukum.
“Perlindungan hak cipta bukan hanya soal mematuhi aturan, tetapi merupakan wujud penghargaan terhadap kerja kreatif yang memberi nilai tambah dalam operasional bisnis. Musik bukan sekadar hiburan, tetapi aset ekonomi yang mendukung pertumbuhan industri,” tutup Agung.
https://images.app.goo.gl/RRmoDAhzJkJ9CETx6

