
Jakarta – Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai bahwa para santri, yang selama ini ditempa dengan nilai-nilai moral, kedisiplinan, serta etika dalam lingkungan pondok pesantren, berpotensi mengalami degradasi moral dan profesionalisme ketika bergabung dengan institusi yang tidak memiliki lingkungan kerja yang mendukung integritas dan etos kerja yang tinggi.
Pernyataan tersebut disampaikan sebagai respons terhadap kebijakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menyatakan bahwa pihak kepolisian akan memprioritaskan santri sebagai calon anggota Polri. Menurut Sigit, para santri dinilai memiliki ketahanan moral yang lebih kuat dan lebih mampu menahan godaan ketika menjalankan tugas kepolisian di tengah berbagai tantangan yang ada.
Namun, Co-founder ISESS, Khairul Fahmi, menyoroti adanya kekhawatiran bahwa bukan santri yang akan mengubah budaya kerja di lingkungan kepolisian, melainkan mereka yang justru berisiko terbawa arus dan terpengaruh oleh lingkungan yang tidak mendukung profesionalisme dan integritas. “Justru ada kekhawatiran bahwa santri yang masuk malah akan ikut terpengaruh oleh lingkungan kerja yang ada,” ujar Khairul saat dihubungi pada Jumat, 7 Februari 2025.
Lebih lanjut, Khairul menekankan bahwa alih-alih hanya memprioritaskan rekrutmen santri, yang seharusnya menjadi perhatian utama Polri adalah memastikan bahwa seluruh proses seleksi calon anggota kepolisian berjalan dengan transparan, akuntabel, dan berbasis meritokrasi. Dengan mekanisme seleksi yang baik, maka kualitas calon polisi yang direkrut tetap terjaga, terlepas dari latar belakang pendidikan mereka.
Menurutnya, meskipun ada calon anggota kepolisian yang pada awalnya belum memiliki moralitas yang kokoh, sistem pendidikan dan pembinaan dalam institusi kepolisian seharusnya mampu membentuk karakter mereka agar menjadi aparat yang berintegritas dan profesional. Ia juga mengkritisi pernyataan Kapolri yang menekankan pentingnya santri dalam institusi kepolisian, yang bisa diartikan sebagai indikasi ketidakpercayaan terhadap efektivitas sistem pendidikan kepolisian dalam membentuk karakter yang baik.
Khairul menambahkan bahwa pernyataan Kapolri yang menyoroti godaan dalam tugas kepolisian seolah-olah menempatkan masalah profesionalisme dan integritas sebagai sesuatu yang berasal dari faktor eksternal, yakni masyarakat. Padahal, menurutnya, realitas yang terjadi menunjukkan bahwa banyak anggota kepolisian yang pada awalnya memiliki integritas tinggi, tetapi justru mengalami degradasi moral setelah masuk ke dalam institusi kepolisian itu sendiri.
Lebih jauh, ia menilai bahwa kebijakan ini dapat menjadi bentuk pengalihan perhatian dari tanggung jawab institusi untuk membenahi persoalan internal yang lebih mendasar. Seharusnya, kata dia, kepolisian lebih fokus pada upaya perbaikan sistem, termasuk membangun mekanisme pengawasan yang lebih ketat serta memastikan bahwa para pimpinan di setiap tingkatan mampu menjadi teladan bagi anggotanya.
“Jika sistem di level atas masih bermasalah dan tidak memberikan contoh yang baik, sekadar mengganti sumber rekrutmen tidak akan membawa perubahan yang signifikan,” tandas Khairul.
Sementara itu, dalam keterangan resminya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa ia tidak ingin institusi kepolisian hanya melahirkan aparat yang sekadar memahami tugas dan fungsi kepolisian secara teknis. Lebih dari itu, ia berharap anggota kepolisian juga memiliki kematangan karakter yang kuat agar dapat mengayomi masyarakat dengan baik serta menjadi panutan dalam kehidupan sosial.
Kapolri meyakini bahwa para santri memiliki kualitas tersebut karena telah dibekali dengan nilai-nilai keimanan yang kuat selama menempuh pendidikan di pesantren. “Karena dibekali iman yang kuat, sehingga pada saat menghadapi tantangan godaan semuanya bisa bertahan,” ujar Sigit dalam pernyataannya pada Rabu, 5 Februari 2025.
Sumber: https://www.tempo.co/hukum/pakar-nilai-calon-polisi-dari-santri-juga-bisa-degradasi-moral-bila-institusi-polri-tak-berbenah-1204542