
Mahkamah Konstitusi (MK) telah resmi menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Keputusan ini disampaikan dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada (Kamis, 2/1/2025). Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa argumen yang diajukan oleh para pemohon mengenai ketidaksesuaian ketentuan presidential threshold dengan prinsip konstitusionalitas, dinilai beralasan secara hukum.
MK juga menilai bahwa ketentuan mengenai presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), dianggap tidak hanya melanggar hak politik dan prinsip kedaulatan rakyat, tetapi juga bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, prinsip keadilan, dan UUD 1945.
Menanggapi putusan MK tersebut, sejumlah ahli hukum dan politik memberikan pandangan mereka.
Ketua MK periode 2003 – 2008, Prof. Jimly Asshiddiqie
menguraikan tiga poin penting terkait Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024. Pertama, MK sebelumnya selalu menolak permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, namun kali ini mengubah sikapnya dengan mengabulkan permohonan secara keseluruhan. Putusan ini dinilai sebagai langkah untuk memperkuat demokrasi dan mengurangi polarisasi politik di Indonesia.
Kedua, lemahnya institusi politik dan masih kuatnya budaya feodal tercermin dalam pelaksanaan Pemilu, seperti Pilpres 2024. Partai politik harus berjuang keras membentuk koalisi, yang pada akhirnya memicu praktik politik pragmatis. Situasi ini membuat MK mempertimbangkan kembali kebijakan presidential threshold, mengingat pembatasan jumlah pasangan calon hanya menjadi dua bertentangan dengan tujuan pemilu dua putaran, yakni memastikan pasangan terpilih mendapatkan dukungan mayoritas rakyat.
Ketiga, keberagaman pasangan Capres-Cawapres dinilai sebagai cerminan keanekaragaman Indonesia yang kaya akan budaya, agama, dan suku. Untuk itu, diperlukan aturan yang membatasi jumlah pasangan calon yang dapat lolos ke Pilpres, tanpa menghambat partisipasi politik. Selain itu, partai politik wajib menjalankan proses demokratis internal, seperti konvensi, guna menjaring calon terbaik dengan melibatkan tim penilai independen dari berbagai elemen masyarakat.
Ketua MK Periode 2008 – 2013, Prof. Moh. Mahfud MD
ia menyambut positif putusan MK tersebut. Menurutnya, putusan tersebut harus diterima karena dua alasan, yaitu pertama, karena adanya dalil bahwa putusan hakim yang sudah inkracht itu mengakhiri konflik dan harus dilaksanakan. Kedua, ia menilai bahwa selama ini dengan adanya presidential threshold kerap digunakan untuk merampas hak rakyat maupun partai politik. Ia juga mengatakan bahwa permohonan penghapusan ambang batas pencalonan presiden telah banyak dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi, menurutnya, pengajuan gugatan itu telah belasan kali selalu ditolak oleh MK dengan alasan open legal policy (OPL). Ia mengapresiasi kepada MK yang berani melakukan judicial activism yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Pakar Ilmu Politik Unpad, Yusa Djuyandi
Ia menanggapi bahwa dengan adanya putusan MK tersebut, parpol harus bekerja dari sekarang untuk mempersiapkan kader yang akan mereka usung, atau melakukan penjaringan internal sejak dini. Hal ini dilakukan agar setiap parpol dapat mengusungkan kader terbaiknya. Di samping itu, Ia juga mengusulkan agar terdapat syarat pengalaman dalam pemerintahan atau politik bagi calon presiden dan wakil presiden untuk maju dalam pemilu.
Pakar Ilmu Politik Unsoed, Luthfi Makhasin
Luthfi Makhasin menilai pentingnya pembentukan koalisi politik permanen setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas presiden. Dia juga mendukung penyederhanaan partai politik, yang diharapkan dapat terwujud setelah putusan MK tersebut. Menurutnya, keputusan ini memberi kesempatan bagi setiap partai untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sekaligus membuat proses pemilihan lebih sederhana. Meskipun disambut positif oleh aktivis pro-demokrasi, Makhasin mengingatkan agar perhatian tetap diberikan pada fenomena politik uang untuk menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Asrinaldi
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Asrinaldi, berpendapat bahwa kemampuan kepemimpinan harus menjadi salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi menghapus ambang batas presiden. Menurutnya, calon presiden seharusnya memiliki pengalaman dalam memimpin pemerintahan dan politik. Asrinaldi mengacu pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden harus memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Meskipun hal ini bisa memicu perdebatan, dia menilai syarat ini penting untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih memiliki visi kebangsaan dan kapabilitas untuk memajukan negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ketentuan ambang batas presiden membuka peluang baru dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Keputusan ini disambut positif oleh sejumlah pakar hukum dan politik, yang menilai bahwa penghapusan tersebut dapat memperkuat demokrasi dan mengurangi polarisasi politik. Meski demikian, beberapa pihak mengingatkan agar persyaratan terkait pengalaman dalam kepemimpinan dan politik dipertimbangkan untuk memastikan pemimpin yang terpilih memiliki kapabilitas yang memadai. Dengan demikian, meski memberikan kebebasan lebih dalam pencalonan, perbaikan prosedural tetap diperlukan untuk menjaga kualitas demokrasi di Indonesia
Sumber reupload:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21997
sumber foto:
https://www.google.com/imgres?q=sidang%20MK%20presidential%20treshold&imgurl=https%3A%2F%2Fwww.mkri.id%2Fpublic%2Fcontent%2Fberita%2Flarge%2Fberita_1709224769_999dc68bdddbd6871901.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.mkri.id%2Findex.php%3Fpage%3Dweb.Berita%26id%3D20080%26menu%3D2&docid=iU7QSF4upFKieM&tbnid=knQjuQuif5HE_M&vet=12ahUKEwjFz9-Ose2KAxXBxTgGHZHMK5MQM3oECCkQAA..i&w=837&h=346&hcb=2&ved=2ahUKEwjFz9-Ose2KAxXBxTgGHZHMK5MQM3oECCkQAA