Lima WNI Ajukan Uji Materi Pasal 21 UU Tipikor ke MK, Anggap Multitafsir dan Berpotensi Disalahgunakan

saplawfi | 12 September 2025, 09:53 am | 62 views

Lima warga negara Indonesia resmi mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon tersebut adalah Irianto Subiakto, Anggara Suwahju, Emir Zullarwan Pohan, Zainal Abidin, dan Febi Yonesta.

Dalam permohonannya, para pemohon menilai bahwa Pasal 21 UU Tipikor yang kerap digunakan aparat penegak hukum dalam proses pemberantasan korupsi bersifat multitafsir, rawan disalahgunakan, dan tidak sesuai dengan prinsip pembentukan hukum pidana yang baik. Pasal tersebut mengatur ancaman pidana penjara antara 3 hingga 12 tahun, serta denda sebesar Rp150 juta hingga Rp600 juta bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, proses penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan perkara korupsi di pengadilan.

Menurut para pemohon, rumusan pasal ini terlalu kabur sehingga kerap dijadikan “pasal karet” oleh aparat penegak hukum. Irianto Subiakto menegaskan, dengan tafsir yang liar, pasal ini dapat menjerat siapa pun tanpa batasan jelas, termasuk warga negara yang seharusnya dilindungi hak konstitusionalnya.

Hal senada juga disampaikan Emir Zullarwan Pohan. Ia menilai frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” membuka ruang subjektivitas yang sangat luas, baik bagi penyidik maupun hakim, sehingga potensi penyalahgunaan pasal ini semakin besar.

Dalam berkas permohonan, kelima pemohon juga menguraikan sejarah perumusan pasal ini sejak pembahasannya di Panitia Khusus DPR lebih dari dua dekade lalu. Mereka menekankan bahwa sejak awal kekhawatiran mengenai potensi menjadi pasal karet sudah muncul dari sebagian anggota DPR, namun tetap tidak ditindaklanjuti. Bahkan, penjelasan resmi pasal tersebut hanya menyatakan “cukup jelas”, tanpa elaborasi lebih lanjut.

Anggara Suwahju menambahkan, jika dibandingkan dengan instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) maupun United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC), rumusan Pasal 21 UU Tipikor justru jauh lebih kabur. Dalam instrumen hukum internasional, yang diatur dan dapat dihukum hanyalah tindakan nyata seperti ancaman, intimidasi, atau pemberian suap kepada saksi. Demikian pula dengan KUHP lama yang lebih spesifik mengatur tindakan menghalangi penyidikan, misalnya dengan menyembunyikan barang bukti. KUHP baru 2023 bahkan telah menempatkan tindak pidana obstruction of justice dalam bab tersendiri dengan rumusan yang lebih terang dan terukur.

Sementara itu, Zainal Abidin menegaskan bahwa penerapan Pasal 21 UU Tipikor dalam praktik telah menimbulkan persoalan nyata. Ia mencontohkan kasus advokat Lucas yang dipidana karena memberi saran kepada kliennya, meskipun akhirnya dibebaskan melalui peninjauan kembali. Kasus serupa juga menimpa Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang sempat dituduh melakukan perintangan penyidikan, serta advokat Roy Rening yang dijatuhi hukuman meski tindakannya masih dalam koridor pembelaan hukum.

“Pasal ini telah berubah menjadi alat represi yang berpotensi menjerat siapa saja tanpa batasan yang jelas,” tegas Zainal Abidin.

Atas dasar pertimbangan tersebut, para pemohon mendesak Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan Pasal 21 UU Tipikor. Menurut mereka, setelah KUHP baru mulai berlaku pada tahun 2026, Indonesia tidak lagi memerlukan keberadaan pasal multitafsir yang hanya menambah masalah dalam sistem penegakan hukum.

Sebagai catatan, sebelumnya Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto juga pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 21 UU Tipikor. Dalam permohonannya, Hasto meminta MK agar hukuman maksimal dalam pasal tersebut diturunkan dari 12 tahun penjara menjadi 3 tahun, serta memperjelas norma dengan menyatakan bahwa perintangan dimaksud harus dilakukan secara melawan hukum, misalnya melalui kekerasan fisik, intimidasi, intervensi, maupun suap.

Hasto sendiri pernah dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara karena terbukti memberikan suap kepada mantan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Namun, hakim menyatakan Hasto tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan. Hasto akhirnya mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto yang menghapus kewajibannya menjalani sisa hukuman.

Permohonan uji materi yang diajukan lima WNI ini menambah catatan panjang kontroversi terkait penerapan Pasal 21 UU Tipikor. Putusan MK atas permohonan ini akan menjadi penentu arah pembaharuan hukum pidana korupsi di Indonesia, khususnya dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak asasi setiap warga negara.

 

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/lawan-pasal-karet–lima-wni-uji-materil-pasal-21-uu-tipikor-lt68c3c17ce3a5d/?page=all

https://share.google/BJyIQ8yRQRGqGIYae

Berita Terkait