Komnas HAM Nilai Rancangan Revisi UU HAM Berpotensi Melemahkan Independensi Lembaga

saplawfi | 31 October 2025, 04:03 am | 35 views

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, menyampaikan keberatan keras terhadap Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang tengah disusun oleh Pemerintah melalui Kementerian Hak Asasi Manusia.

Menurut Anis, substansi rancangan tersebut justru berpotensi menggerus independensi dan melemahkan kewenangan Komnas HAM, padahal lembaga ini memiliki mandat konstitusional sebagai garda terdepan dalam perlindungan, pemajuan, dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

“Rancangan ini dinilai mengancam kemandirian Komnas HAM di tengah meningkatnya dominasi kewenangan Kementerian HAM. Berdasarkan kajian internal, kami menemukan sedikitnya 21 pasal bermasalah yang berpotensi melemahkan peran dan fungsi kelembagaan Komnas HAM,” ujar Anis dalam pernyataan resminya yang diterima Hukumonline, Jumat (31/10/2025).

Adapun sejumlah pasal yang dinilai bermasalah antara lain Pasal 1, Pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83–85, Pasal 87, Pasal 100, Pasal 102–104, Pasal 109, dan Pasal 127. Pasal-pasal tersebut, menurut Komnas HAM, mengandung ketentuan yang tidak hanya menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian HAM, tetapi juga berpotensi menghapus fungsi substantif Komnas HAM sebagai lembaga independen negara.

Fungsi dan Wewenang Komnas HAM Terancam Dihapus

Dalam UU Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM diberikan empat kewenangan utama: pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, serta mediasi. Namun, rancangan baru melalui Pasal 109 justru menghapus sebagian besar fungsi penting tersebut.

“Komnas HAM tidak lagi memiliki wewenang menerima dan menangani pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, pendidikan, penyuluhan, maupun pengkajian HAM, kecuali yang menyangkut regulasi dan instrumen internasional,” jelas Anis.

Menurutnya, perubahan tersebut akan mengubah Komnas HAM dari lembaga pelaksana dan penegak hak asasi menjadi lembaga administratif belaka, yang hanya berperan dalam penyusunan norma tanpa memiliki kekuatan operasional di lapangan.

Selain itu, Pasal 100 ayat (2) huruf b dalam rancangan baru yang mengatur bahwa panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh Presiden, juga menuai kritik tajam. Dalam regulasi yang berlaku saat ini, panitia seleksi dibentuk melalui Sidang Paripurna Komnas HAM, sebagai bentuk pelaksanaan prinsip independensi lembaga.

“Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan Paris Principles, yaitu standar internasional yang menegaskan bahwa lembaga HAM nasional harus bebas dari intervensi politik dalam proses rekrutmen, pengambilan keputusan, maupun pelaksanaan fungsi kelembagaan,” tegasnya.

Klaim “Penguatan” Dinilai Sekadar Formalitas

Meski rancangan revisi menyebutkan adanya “penguatan kelembagaan” melalui Pasal 112, di mana rekomendasi Komnas HAM bersifat mengikat terhadap pemerintah dan anggota Komnas dapat didukung oleh tenaga ahli, Anis menilai hal tersebut hanya penguatan semu.

“Tidak ada arti penguatan apabila lebih dari separuh kewenangan Komnas HAM dihapus. Itu bukan bentuk penguatan, tetapi justru pelemahan struktural terhadap lembaga HAM nasional,” ujarnya.

Anis juga menegaskan bahwa pelimpahan kewenangan penanganan pelanggaran HAM kepada Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan secara konseptual maupun normatif. Dalam prinsip hukum internasional, kementerian merupakan duty bearer, yakni pihak yang berkewajiban memenuhi dan menghormati HAM, bukan pihak yang menilai atau mengawasi pelaksanaannya.

“Jika lembaga pemerintah yang menjadi pelaku pelanggaran justru diberi kewenangan menilai dugaan pelanggaran tersebut, maka akan terjadi konflik kepentingan serius dan pelanggaran prinsip akuntabilitas publik,” tambahnya.

Ancaman Hilangnya Fungsi Korektif dan Pencegahan Pelanggaran HAM

Anis menilai, penghapusan kewenangan Komnas HAM dalam bidang pendidikan, penyuluhan, serta pengkajian kebijakan dan peraturan perundang-undangan akan berimplikasi luas terhadap upaya pencegahan pelanggaran HAM di masyarakat.

Komnas HAM selama ini berperan sebagai penyeimbang kebijakan pemerintah, memberikan masukan dan koreksi terhadap berbagai regulasi yang berpotensi melanggar prinsip-prinsip HAM. Jika kewenangan tersebut dicabut, maka ruang kontrol sosial dan kelembagaan terhadap pemerintah akan tertutup.

Selain itu, rancangan revisi juga membatasi ruang kerja sama Komnas HAM dengan lembaga nasional, regional, maupun internasional, sehingga dapat menghambat penanganan kasus-kasus lintas yurisdiksi, seperti perdagangan orang, kekerasan terhadap migran, dan pelanggaran HAM transnasional lainnya.

“Rancangan ini dapat dimaknai sebagai upaya sistematis untuk menghapus eksistensi Komnas HAM dalam sistem kelembagaan HAM nasional. Definisi, tujuan, dan kewenangannya dalam rancangan tersebut sudah tidak sejalan dengan semangat UU 39/1999,” ujar Anis menegaskan.

Menurutnya, tujuan Komnas HAM sebagaimana tercantum dalam Pasal 75 UU 39/1999, yakni menciptakan kondisi kondusif bagi pelaksanaan dan peningkatan perlindungan HAM, akan sulit diwujudkan jika sebagian besar kewenangan lembaga tersebut justru dipangkas.

Komnas HAM Ajukan Alternatif Naskah Akademik dan DIM

Sebagai langkah antisipatif, Komnas HAM telah menyiapkan naskah akademik dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) versi lembaga, yang menekankan perlunya penguatan norma-norma HAM, pengaturan mengenai pembela HAM, serta perlindungan bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat adat, dan lanjut usia.

Selain itu, Komnas HAM juga mengusulkan penguatan mekanisme akuntabilitas negara dalam pemenuhan HAM dan peningkatan peran Komnas HAM dalam sistem nasional perlindungan HAM agar lebih efektif, independen, dan responsif terhadap dinamika sosial.

“Kami mendesak agar substansi revisi UU HAM tidak memperlemah Komnas HAM, tetapi justru memperkuat peran dan fungsi lembaga ini untuk mengoptimalkan sistem perlindungan HAM di Indonesia,” harap Anis.

Pemerintah Klaim Revisi Bertujuan Memperkuat Komnas HAM

Di sisi lain, Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menegaskan bahwa revisi UU HAM justru dimaksudkan untuk memperkuat Komnas HAM dan memperluas pembangunan HAM di seluruh wilayah Indonesia.

Menurut Pigai, revisi tersebut juga mencakup penyesuaian terhadap dinamika sosial dan perubahan aktor-aktor HAM yang semakin kompleks dalam dua dekade terakhir.

“Konteks dan aktor HAM saat ini sudah berbeda dibanding era sebelumnya, sehingga substansi undang-undang perlu diperbarui agar tetap relevan,” ujar Pigai setelah rapat pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU HAM bersama para tokoh HAM di Jakarta.

Pigai menyebut ada empat alternatif penguatan Komnas HAM yang sedang dikaji pemerintah. Pertama, menjadikan rekomendasi Komnas HAM bersifat mengikat secara hukum (binding), dan apabila diabaikan, akan dikenakan sanksi administratif atau hukum.

Kedua, untuk kasus pelanggaran HAM berat, penyidik ad hoc dari Kejaksaan akan diberikan kewenangan melakukan penyidikan, pemanggilan paksa, dan penuntutan secara mandiri.

Ketiga, pemerintah tengah mempertimbangkan model kelembagaan Komnas HAM yang memiliki kewenangan setara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sehingga dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan tanpa bergantung pada institusi lain.

Keempat, pemberian hak imunitas hukum bagi komisioner dan pegawai Komnas HAM dalam melaksanakan tugasnya, guna melindungi mereka dari potensi kriminalisasi.

“Seperti halnya wartawan atau pembela HAM, komisioner juga harus dilindungi agar tidak dapat dipidana saat menjalankan tugasnya,” pungkas Pigai.

 

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/potensi-melemahkan–komnas-ham-keberatan-21-pasal-bermasalah-dalam-draf-revisi-uu-ham-lt690428e421a49/?page=all

Berita Terkait