
Jabar – Polisi Tetapkan Dua Tersangka dalam Longsor Galian C Gunung Kuda yang Tewaskan 18 Orang, Dijerat Pasal Berlapis.
Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) resmi menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam tragedi longsor di lokasi pertambangan Galian C di kawasan Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Peristiwa yang terjadi pada Jumat (30/5) pukul 10.00 WIB itu telah menewaskan 18 orang dan beberapa korban lainnya masih dinyatakan hilang. Kedua tersangka yakni AK, selaku pemilik tambang, dan AR, sebagai Kepala Teknik Tambang (KTT).
Kabid Humas Polda Jabar Kombes Pol Hendra Rochmawan mengungkapkan, kedua tersangka diduga kuat telah melakukan kegiatan usaha pertambangan tanpa mengantongi persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), meskipun telah mendapat peringatan resmi dari instansi berwenang. AK dan AR disebut telah mengetahui adanya larangan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh Kantor Cabang Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wilayah VII Cirebon, tertanggal 8 Januari 2025, yang ditujukan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Tak hanya itu, pada 19 Maret 2025, Dinas ESDM kembali mengeluarkan surat peringatan kepada Ketua Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al-Azhariyah selaku pemegang IUP agar segera menghentikan seluruh kegiatan pertambangan tahap operasi produksi, sampai batas waktu yang belum ditentukan. Namun, larangan tersebut diabaikan.
“Meski sudah ada surat larangan dan peringatan dari otoritas terkait, tersangka AK tetap memerintahkan tersangka AR untuk menjalankan operasional kegiatan pertambangan tanpa mengindahkan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3),” ujar Hendra dalam keterangan persnya, Minggu (1/6).
Menurut Hendra, pengabaian prosedur keselamatan kerja itulah yang kemudian memicu terjadinya longsor fatal di area penambangan yang dikelola Kopontren Al-Azhariyah di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Aktivitas penambangan saat itu melibatkan penggalian material limestone atau trass, dan dilakukan tanpa perhitungan risiko geologis serta mitigasi bencana yang memadai.
Akibat kelalaian tersebut, tanah longsor besar terjadi dan menyebabkan korban jiwa meninggal dunia, luka-luka, serta kerugian materiil berupa hancurnya alat berat dan kendaraan operasional tambang.
Dalam proses penyidikan, pihak kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi dan mengamankan barang bukti yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan ilegal tersebut. Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan sejumlah pasal pidana yang bersifat kumulatif (pasal berlapis), yang mencakup aspek lingkungan hidup, ketenagakerjaan, keselamatan kerja, dan kelalaian yang berujung pada hilangnya nyawa orang lain.
Adapun pasal-pasal yang dikenakan kepada para tersangka antara lain Pasal 98 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar.
Kemudian, Pasal 99 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun serta denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp9 miliar.
Pasal 35 ayat (3) jo Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun.
Pasal 3 jo Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, dengan ancaman pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp100.000. Serta Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun, jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan dalam tindak pidana.