Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Penetapan status tersangka ini diumumkan pada Jumat (22/8/2025) setelah lembaga antirasuah itu melakukan serangkaian penyelidikan dan operasi tangkap tangan (OTT) dua hari sebelumnya, yakni pada Rabu (20/8/2025).
Dalam operasi tersebut, penyidik KPK menemukan adanya aliran dana hasil pemerasan yang kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi, antara lain pembelian mobil, tanah, hingga rumah. Temuan ini diperoleh setelah dilakukan pemeriksaan awal terhadap pihak-pihak yang diamankan saat OTT. “Ketika ada penyerahan uang, kemudian kita lakukan penangkapan terhadap orang-orang tersebut, dan dilakukan interview. Dari interview itulah diperoleh ke mana saja uangnya itu diberikan,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta.
Asep menjelaskan bahwa KPK telah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana yang diduga berasal dari praktik pemerasan. Dari hasil analisis, dana tersebut teridentifikasi mengalir ke berbagai aset, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. “Yang bergerak tentu bisa kita bawa sekaligus, seperti mobil dan kendaraan roda dua maupun roda empat. Sedangkan yang tidak bergerak juga sudah kita identifikasi, antara lain rumah, tanah, dan properti lain,” tambah Asep.
Selain Immanuel Ebenezer, KPK juga menetapkan sedikitnya 10 orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka diduga terlibat secara bersama-sama dalam praktik pemerasan yang dilakukan di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, serta juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Menariknya, kasus ini menyeret kembali pernyataan kontroversial Immanuel Ebenezer pada tahun 2022, ketika dirinya masih menjabat sebagai Ketua relawan Jokowi Mania (Joman). Kala itu, ia secara tegas menyatakan dukungannya terhadap hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pernyataan tersebut disampaikan usai dirinya melaporkan Ubedilah Badrun ke Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran fitnah. “Semua yang namanya kritik dan laporan berbasis data saya mendukung. Apalagi saya satu-satunya aktivis yang punya komitmen, namanya korupsi harus dihukum mati,” ujar Immanuel pada 14 Januari 2022.
Namun, setelah kini dirinya justru ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, Immanuel memilih untuk menyampaikan permintaan maaf kepada sejumlah pihak. Saat meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, ia menundukkan kepala seraya menyatakan penyesalan. “Saya ingin sekali, pertama saya mau minta maaf kepada Presiden Pak Prabowo. Kedua, saya minta maaf kepada anak dan istri saya. Ketiga, saya minta maaf terhadap rakyat Indonesia,” ucapnya dengan nada lirih.
Meski demikian, Immanuel membantah bahwa dirinya terjaring OTT KPK. Menurutnya, ada narasi yang berkembang di luar yang dianggap memperburuk citranya. “Saya ingin mengklarifikasi bahwa saya tidak di-OTT, pertama itu. Kedua, kasus saya bukan kasus pemerasan, agar narasi di luar tidak menjadi narasi yang kotor memberatkan saya,” tegasnya.
Immanuel yang juga dikenal sebagai Ketua Relawan Prabowo Mania 08 itu menegaskan akan menghadapi proses hukum sesuai mekanisme yang berlaku. KPK sendiri menyatakan penyidikan masih akan terus berjalan, termasuk mendalami keterlibatan pihak-pihak lain serta kemungkinan adanya aliran dana yang lebih besar dari hasil dugaan pemerasan pengurusan sertifikat K3 di lingkungan Kemenaker.

