KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023) akan berlaku secara efektif di seluruh Indonesia mulai 2 Januari 2026. Salah satu pembaruan penting dalam kodifikasi ini adalah pengakuan terhadap hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law). Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), living law dijelaskan sebagai hukum adat, yakni hukum tidak tertulis yang masih eksis dan berkembang di lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Hukum adat inilah yang dapat dijadikan dasar untuk menilai apakah suatu perbuatan dapat dipidana. Agar memiliki kekuatan formil, hukum adat tersebut nantinya akan diperkuat melalui Peraturan Daerah yang mengatur secara khusus tindak pidana berbasis hukum adat.
Namun, menjadikan living law hanya sebagai dasar pemidanaan tanpa mengakuinya sebagai alasan untuk membebaskan atau meringankan justru berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan negara. Hal ini juga dapat melahirkan dualisme penerapan hukum adat. Dengan kata lain, meskipun pengakuan terhadap hukum yang hidup dianggap langkah progresif, implementasinya tetap menyimpan risiko benturan antara hukum adat dan hukum negara. Tanpa kejelasan mekanisme penegakan, hukum adat bisa berubah menjadi instrumen represif ketimbang sarana keadilan.
Selain itu, proses kodifikasi hukum adat melalui peraturan daerah bukan perkara mudah. Hambatan utamanya adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur teknis penulisan hukum adat sebagaimana diamanatkan Pasal 2 KUHP Nasional. Penyusunan hukum adat juga membutuhkan waktu panjang dan biaya besar, sebab keberadaan masyarakat adat tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Tody Sasmitha, peneliti dari The Van Vollenhoven Institute, Pasal 2 KUHP Nasional tidak dimaksudkan untuk mengkodifikasi hukum adat, melainkan memberi pedoman bagi hakim dalam menemukan serta menerapkan hukum yang hidup di masyarakat. Berdasarkan hal itu, ada dua isu utama yang penting dikaji: pertama, bagaimana hakim memutus perkara yang terkait dengan living law; kedua, bagaimana seharusnya hakim memaknai living law dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia.
Living Law dalam Putusan Hakim
Penggunaan Pasal 2 KUHP Nasional sebagai landasan bagi hakim untuk menggali hukum yang berlaku dalam masyarakat sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Dalam berbagai putusan sebelumnya, hakim telah menjadikan living law sebagai pertimbangan dalam memutus perkara konkret.
Salah satunya, kasus di Manggarai Timur, NTT, yang menjerat petani Gregorius Jeramu dengan tuduhan korupsi karena menjual tanah untuk pembangunan Terminal Kembur. Jaksa menilai tanah itu milik negara karena belum bersertifikat. Namun, masyarakat adat Kembur menolak tuduhan tersebut sebab tanah yang dijual adalah warisan adat turun-temurun. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui Putusan No. 5047 K/Pid.Sus/2023 membebaskan Gregorius. Hakim menyatakan jual beli tanah sah menurut hukum adat meskipun tanpa sertifikat, serta menegaskan adanya negosiasi adat “Kepok” yang melibatkan banyak pihak. Putusan ini menunjukkan pengakuan hakim terhadap hukum adat yang hidup dalam masyarakat Manggarai.
Contoh lain, Putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 terkait pelanggaran kesusilaan di Desa Parauna, Kendari. Meskipun pelaku telah dijatuhi sanksi adat berupa Prohala (membayar kerbau dan kain kaci), perkara tetap dibawa ke pengadilan. PN Kendari dan PT Sulawesi Tenggara menghukum pelaku, namun di tingkat kasasi MA membatalkan putusan tersebut dengan alasan nebis in idem, karena perkara telah diselesaikan oleh pengadilan adat. Putusan ini menegaskan bahwa hukum adat dapat menjadi pertimbangan sah dalam sistem peradilan nasional.
Dua putusan tersebut memperlihatkan bahwa hakim tidak semata-mata berpegang pada hukum tertulis, tetapi juga menggali norma adat yang diakui masyarakat untuk dijadikan pertimbangan hukum.
Pemaknaan dan Prinsip Penemuan Hukum
Penegakan hukum tidak cukup hanya dengan logika formil, tetapi juga memerlukan penilaian dan pemberian makna atas suatu norma hukum. Proses ini dikenal sebagai penemuan hukum (rechtsvinding). Salah satu cara yang digunakan adalah metode interpretasi atau penafsiran.
Dalam penafsiran terdapat asas materiil yang relevan dengan living law. Asas ini menghendaki agar hakim mempertimbangkan aturan-aturan tidak tertulis yang berakar pada nilai sosial dan etis masyarakat. KUHP Nasional pun mengatur hal ini, misalnya dalam Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan suatu perbuatan hanya dapat dianggap tindak pidana bila bertentangan dengan hukum yang hidup di masyarakat, serta Pasal 35 yang menegaskan ketiadaan sifat melawan hukum merupakan alasan pembenar.
Artinya, meskipun suatu tindakan memenuhi unsur delik, tetapi jika menurut masyarakat tidak dianggap tercela, maka tindakan itu tidak dapat dipidana. Bahkan Pasal 54 ayat (1) huruf k KUHP Nasional mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dalam menjatuhkan putusan.
Sumber: https://share.google/images/Hez1ZBZJuP0arAboz
https://www.hukumonline.com/berita/a/memaknai-living-law-dalam-penegakan-hukum-pidana-lt68c4447c49fb8/?page=all

