Jakarta: Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi sorotan publik setelah mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait vonis bebas Ronald Tannur. Penetapan tersangka ini dilakukan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung. Kasus ini memicu desakan agar MA mengambil langkah tegas untuk memberantas praktik mafia peradilan yang dinilai sudah mengakar.
Abdul Fickar Hadjar, pengajar hukum pidana di Universitas Trisakti, menilai penetapan Rudi sebagai tersangka semakin memperjelas adanya indikasi sistemik mafia peradilan di tubuh MA. Ia mengungkapkan bahwa konstruksi perkara yang disusun penyidik Kejagung menunjukkan aliran dana yang mencurigakan, melibatkan majelis hakim, panitera pengganti, hingga Ketua PN. Menurut Fickar, kasus ini harus menjadi perhatian serius pimpinan MA untuk melakukan reformasi menyeluruh.
“MA perlu mengambil langkah tegas dengan membersihkan personel yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik. Ini meliputi hakim, panitera, hingga pegawai administratif. Tidak cukup dengan sanksi ringan, pemberhentian tetap harus menjadi opsi utama jika terbukti ada pelanggaran pidana,” tegas Fickar pada Kamis, 16 Januari 2025.
Lebih lanjut, Fickar menekankan pentingnya peran Badan Pengawas (Bawas) dan Komisi Yudisial (KY). Menurutnya, pengawasan tidak hanya dilakukan secara internal, tetapi juga melibatkan masyarakat. “Bawas harus diisi oleh hakim berintegritas, bahkan melibatkan masyarakat yang memiliki kualifikasi khusus untuk memeriksa hakim. KY juga tidak boleh pasif menunggu laporan, tetapi harus proaktif bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Fickar juga menyoroti perlunya pengetatan rekrutmen hakim baru. Ia mengkritik sistem penerimaan yang hanya mengutamakan pelamar kerja tanpa menilai integritas. “Jangan sampai yang direkrut adalah pencari kerja yang hanya berorientasi pada penghasilan tambahan melalui ketukan palu. Sebesar apa pun gaji hakim dinaikkan, korupsi akan tetap ada jika integritas tidak menjadi syarat utama,” jelasnya.
Penemuan Uang Mencengangkan
Dalam penggeledahan di kediaman Rudi, penyidik JAM-Pidsus menyita uang sebesar Rp21 miliar. Jumlah ini jauh lebih besar dari dugaan suap yang diterima Rudi terkait vonis bebas Ronald Tannur, yaitu sekitar 63 ribu dolar Singapura. Selain itu, penyidik juga menemukan fakta mencengangkan terkait mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA, Zarof Ricar, yang menyimpan uang hampir Rp1 triliun di rumahnya.
Fickar mensinyalir bahwa uang Rp920 miliar yang disita dari kediaman Zarof merupakan hasil praktik mafia peradilan. Ia menduga uang tersebut adalah titipan dari hakim-hakim yang belum pensiun, yang disimpan Zarof untuk menghindari pelaporan dalam sistem Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Jika pengakuan Zarof digali lebih dalam, saya yakin akan terbuka lebih banyak jaringan mafia peradilan. Uang tersebut mungkin saja milik para petinggi penegak hukum yang sengaja disembunyikan untuk menghindari pelacakan,” ungkap Fickar.
Tuntutan Reformasi Menyeluruh
Kasus ini semakin memperkuat desakan agar MA melakukan reformasi menyeluruh dalam sistem peradilannya. Selain membersihkan jajaran internal, MA diminta untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengawasan serta pengelolaan kasus-kasus hukum. Fickar berharap kasus ini menjadi momentum untuk memutus rantai mafia peradilan yang merusak integritas hukum di Indonesia.
Sumber foto dan infromasi: https://www.metrotvnews.com/read/NrWCoYoR-berantas-mafia-peradilan-ma-diminta-pelototi-hakim-nakal

