Perpol 3/2025 dalam Perspektif Kewenangan Konstitusional dan Kebebasan Pers

saplawfi | 7 April 2025, 13:32 pm | 22 views

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan terhadap Orang Asing (Perpol 3/2025) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, khususnya masyarakat sipil dan komunitas pers. Peraturan ini dinilai melangkahi kewenangan konstitusional dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Dewan Pers, terutama karena mengatur kegiatan jurnalistik yang menjadi domain eksklusif dua lembaga tersebut.

Kritik tersebut bukan sekadar reaksi normatif, tetapi juga menyangkut potensi pelanggaran terhadap prinsip negara hukum, kebebasan pers, dan tata kelola pemerintahan yang baik, sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait.

Perpol 3/2025 mengatur bentuk pengawasan administratif dan operasional terhadap orang asing, termasuk jurnalis dan peneliti asing. Pasal-pasal yang disoroti secara khusus antara lain Pasal 4 dan Pasal 5. Dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa pengawasan kepolisian terhadap orang asing terdiri dari pengawasan administratif dan operasional. Pasal 5 mengatur terkait mekanisme pengawasan administratif, termasuk Permintaan keterangan kepada pihak yang menampung orang asing dan Penerbitan surat keterangan kepolisian bagi jurnalis atau peneliti asing yang melakukan kegiatan di lokasi tertentu.

Ketentuan tersebut secara implisit mewajibkan jurnalis asing mengurus dokumen administratif tambahan dari kepolisian, yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih regulasi dan membuka ruang untuk praktik pembatasan kebebasan pers.

Tumpang Tindih Kewenangan: UU Pers dan UU Penyiaran

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur secara eksplisit menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari pilar demokrasi. Dalam konteks ini, pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi secara bebas, serta tanpa campur tangan atau intervensi dari pihak mana pun, termasuk aparat negara. Dewan Pers memiliki mandat konstitusional untuk menjaga kemerdekaan pers, menyusun kode etik jurnalistik, menyelesaikan sengketa pers, dan melakukan verifikasi media. Kewenangan ini mencakup pula pengawasan terhadap aktivitas jurnalistik, termasuk bagi jurnalis asing yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan institusi seperti Kepolisian mengambil alih atau menambah lapis regulasi terhadap aktivitas jurnalistik yang sudah diatur dalam UU ini.

Tidak hanya itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah menetapkan bahwa segala bentuk kegiatan penyiaran, termasuk oleh lembaga penyiaran asing, berada dalam kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang dibantu oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam pengawasan isi siaran. Ketentuan ini diperjelas dan dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2005 serta Peraturan Menteri Kominfo No. 42 Tahun 2009, yang menetapkan tata cara perizinan bagi lembaga penyiaran asing dalam melakukan peliputan di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan Kepolisian untuk menerbitkan surat keterangan kepada jurnalis asing dalam Perpol 3/2025 merupakan bentuk tumpang tindih kewenangan dan berpotensi menciptakan dualisme administratif yang bertentangan dengan prinsip negara hukum.

Pelanggaran terhadap Prinsip Negara Hukum dan Kebebasan Pers

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengkritik bahwa Perpol 3/2025 secara fundamental bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum karena beberapa alasan. Pertama, melanggar asas legalitas. Tidak terdapat perintah dalam undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kepolisian untuk mengatur perizinan atau pengawasan terhadap aktivitas jurnalistik. Dengan demikian, Perpol 3/2025 dapat dinilai sebagai ultra vires (di luar kewenangan). Kedua, menyimpangi asas pembagian kekuasaan (separation of power). Kepolisian mengambil alih kewenangan eksekutif yang dimiliki oleh Kominfo serta fungsi independen yang dijalankan oleh Dewan Pers. Ketiga, dengan berlakunya Perpol 3/2025, menciptakan ketidakpastian hukum. Kehadiran aturan baru yang tidak selaras dengan undang-undang yang lebih tinggi menimbulkan ambiguitas dan kekhawatiran di kalangan jurnalis, khususnya jurnalis asing, mengenai prosedur legal yang harus diikuti.

Lebih lanjut, Isnur menilai bahwa pengawasan administratif dan operasional sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5 Perpol ini berpotensi digunakan sebagai alat represif, baik secara fisik maupun non-fisik, terhadap kebebasan pers. Hal ini dapat melanggengkan praktik intimidasi melalui pemeriksaan yang berlebihan, pengawasan yang tidak terukur, serta birokrasi berlapis. Serikat Pekerja Kampus (SPK) juga menilai bahwa ketentuan ini dapat menjadikan jurnalis asing sebagai target pengawasan ekstra ketat yang tidak proporsional dengan prinsip keterbukaan informasi.

Dampak Potensial terhadap Iklim Demokrasi dan Reputasi Internasional

Penerbitan Perpol 3/2025 bukan hanya berdampak pada urusan administratif peliputan semata, tetapi juga menimbulkan konsekuensi serius terhadap iklim demokrasi dan posisi Indonesia di mata internasional. Jika jurnalis asing dibatasi melalui mekanisme perizinan berlapis serta pengawasan fisik oleh aparat keamanan, maka prinsip transparansi dan akuntabilitas negara akan tercederai. Hal ini bisa menurunkan skor kebebasan pers Indonesia dalam indeks internasional, serta merusak kepercayaan mitra global terhadap komitmen Indonesia dalam menjunjung hak asasi manusia dan demokrasi.

Lebih jauh, pembatasan terhadap peliputan jurnalis asing juga berdampak terhadap aliran informasi global yang berimbang. Jika Indonesia dinilai tidak ramah terhadap kerja-kerja jurnalistik, maka narasi yang keluar ke dunia internasional pun akan dibatasi dan tidak mencerminkan pluralitas perspektif. Dalam jangka panjang, hal ini bisa memengaruhi hubungan diplomatik, kerja sama media global, serta kredibilitas Indonesia sebagai negara demokratis di kawasan.

Sumber berita & foto:

https://www.hukumonline.com/berita/a/perpol-3-2025-dinilai-langkahi-kewenangan-komdigi-dan-dewan-pers-lt67f35934016ad/?page=all

Berita Terkait