Kontroversi Revisi RUU Minerba: Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kesejahteraan Masyarakat

saplawfi | 23 January 2025, 08:03 am | 20 views

Jakarta – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah menggelar rapat panitia kerja (panja) untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg, Martin Manurung, bertujuan untuk membahas berbagai aspek dalam revisi RUU Minerba, mulai dari pengelolaan sumber daya mineral, kewenangan pemerintah pusat dan daerah, hingga upaya mendorong hilirisasi dan peningkatan nilai tambah di sektor pertambangan. Meskipun demikian, revisi ini menuai protes keras dari kalangan koalisi masyarakat sipil yang mengkritisi sejumlah ketentuan dalam RUU tersebut.

Kontroversi Pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP)

Salah satu perubahan yang paling disoroti adalah pengaturan mengenai pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi. Sebelumnya, pengaturan mengenai Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk ormas keagamaan sudah dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 yang mengubah Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021. Namun, dengan dimasukkannya ketentuan ini ke dalam RUU Minerba, banyak pihak yang khawatir bahwa hal ini akan memperkuat dominasi kelompok tertentu dalam penguasaan sumber daya alam, tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat luas.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengkritisi kebijakan ini dengan beberapa alasan. Pertama, ia menganggap seharusnya RUU tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) didahulukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas, mengingat urgensi pengelolaan sektor migas. Namun, RUU Minerba yang tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2025 menimbulkan pertanyaan terkait transparansi dan urgensi proses revisi tersebut.

Kedua, Aryanto juga menyoroti kebijakan yang memperluas pemberian WIUP kepada perguruan tinggi, tanpa melalui proses lelang yang biasa dilakukan. Perguruan tinggi yang memperoleh WIUP, menurutnya, berpotensi menciptakan ketimpangan dan mengurangi kompetisi yang sehat dalam sektor pertambangan. Ketiga, ia juga memprotes ketentuan baru terkait WIUP Mineral Logam yang dapat diberikan secara prioritas kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perorangan, yang dikhawatirkan akan memperburuk tata kelola sektor pertambangan dan mempercepat eksploitasi sumber daya alam.

Daya Rusak Lingkungan dan Eksploitasi Sumber Daya Alam

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Mareta Sari, juga mengkritik kebijakan yang memberikan izin usaha pertambangan kepada ormas dan perguruan tinggi. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya mendukung operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang masih bergantung pada batu bara, tetapi juga menambah ketergantungan pada sektor batu bara yang berpotensi merusak lingkungan secara lebih masif. Mareta juga menekankan bahwa revisi UU Minerba memberikan landasan hukum yang lebih kuat untuk implementasi kebijakan ini di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Dukungan dan Kritik dari Organisasi Keagamaan

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla, menyatakan bahwa PBNU sejak awal mendukung Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021. PBNU menilai bahwa kebijakan ini dapat memberi manfaat luas bagi masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih inklusif. Ulil menegaskan bahwa PBNU tidak mengajukan permohonan konsesi tambang, tetapi menerima kebijakan ini sebagai langkah pemerintah yang bertujuan melibatkan ormas dalam pengelolaan yang lebih terstruktur. Meskipun kontroversial, Ulil menilai manfaat kebijakan ini lebih besar daripada dampak negatifnya.

Sementara itu, perwakilan Pengurus Pusat Muhammadiyah, Syahrial Suandi, menyampaikan terima kasih kepada Baleg DPR atas undangan untuk berdiskusi. Meskipun Muhammadiyah mendukung kebijakan ini, Syahrial mengajukan beberapa catatan penting. Pertama, ia meminta agar Pasal 17A ayat (2) yang menjamin tidak ada perubahan ruang pada konsesi disinkronkan dengan UU lain terkait sektor lingkungan dan pertanian. Kedua, ia mengusulkan agar definisi tambang rakyat diperjelas untuk memudahkan pembinaan. Ketiga, ia mengkritisi pemberian WIUP kepada perguruan tinggi yang tidak selalu memiliki program studi terkait pertambangan, serta mengusulkan agar pengelolaan WIUP mineral logam lebih baik dilakukan oleh BUMN daripada badan usaha swasta.

Evaluasi Kebijakan dan Pertimbangan Ke Depan

Di tengah kontroversi yang berkembang, RUU Minerba dipandang sebagai langkah untuk mempercepat hilirisasi sumber daya alam dan memberikan peluang bagi pelibatan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi dan ormas, dalam sektor pertambangan. Namun, beberapa pihak, seperti koalisi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan, mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam penyusunan dan implementasi kebijakan ini. Apabila kebijakan ini tidak diiringi dengan peraturan yang jelas dan pengawasan yang ketat, dikhawatirkan dapat menambah kerusakan lingkungan dan meningkatkan ketimpangan sosial-ekonomi.

RUU Minerba ini diharapkan segera dibahas dan disahkan untuk memberikan dasar hukum yang lebih kuat bagi pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Namun, perlu adanya pembahasan mendalam dan sinkronisasi dengan regulasi terkait agar kebijakan yang dihasilkan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara. Pembahasan RUU Minerba diharapkan dilakukan dengan cermat dan hati-hati untuk memastikan kebijakan yang tepat.

sumber berita: 

https://www.hukumonline.com/berita/a/3-substansi-revisi-uu-minerba-ini-diprotes-koalisi-masyarakat-lt678e3dca1b8d2/?page=all

 

Berita Terkait