Vonis Ringan Kasus Korupsi APD COVID-19 Disorot, Eks Penyidik KPK: Tak Timbulkan Efek Jera

saplawfi | 7 June 2025, 07:24 am | 10 views

JAKARTA — Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap, mengungkapkan keprihatinannya atas vonis ringan yang dijatuhkan kepada tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ia menilai putusan tersebut tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan dan dapat melemahkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

“Heran mengapa koruptor semakin ringan hukumannya. Terbaru adalah kasus korupsi pengadaan APD COVID-19. Putusan ini tentu tidak akan menimbulkan efek jera,” ujar Yudi kepada wartawan, Sabtu (7/6/2025).

Menurut Yudi, kecenderungan hakim untuk menjatuhkan hukuman yang tidak maksimal kepada pelaku korupsi justru bisa menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi. Ia menegaskan bahwa vonis ringan justru akan memperkuat persepsi publik bahwa korupsi merupakan kejahatan yang menguntungkan karena tidak diiringi dengan konsekuensi hukuman yang berat.

“Alih-alih membuat jera, hukuman yang ringan justru bisa mendorong pelaku lain merasa aman untuk melakukan tindak pidana serupa. Ini tentu sangat mengkhawatirkan dan berpotensi melemahkan komitmen negara dalam memerangi korupsi,” lanjutnya.

Yudi menilai bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu mengambil langkah serius dalam mengevaluasi pola putusan yang diterapkan oleh para hakim tindak pidana korupsi. Ia menyoroti bahwa sebagian besar vonis akhir yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi kerap kali jauh di bawah tuntutan jaksa penuntut umum, bahkan dalam perkara besar yang melibatkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.

“Malah akan semakin membuat orang berani untuk korupsi. Ini harus menjadi catatan penting bagi MA bahwa masih banyak hakim Tipikor yang tampaknya belum sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi,” tegasnya.

Yudi mengungkapkan keheranannya karena ketiga terdakwa divonis dengan pidana yang dianggap terlalu ringan, mengingat skala kerugian negara dalam kasus ini sangat besar dan terjadi dalam situasi darurat pandemi, di mana kebutuhan akan APD sangat mendesak dan menyangkut keselamatan masyarakat luas.

“Terlepas dari independensi hakim yang harus dihormati, namun logika hukum vonis ringan sementara kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah, apalagi dilakukan saat krisis kesehatan nasional, membuat masa depan pemberantasan korupsi terlihat semakin suram,” katanya.

Lebih jauh, Yudi mendorong agar Komisi Yudisial (KY) ikut serta melakukan evaluasi terhadap maraknya vonis ringan dalam kasus-kasus korupsi besar. Menurutnya, KY harus memastikan bahwa integritas dan profesionalisme para hakim tetap terjaga, dan putusan-putusan mereka mencerminkan rasa keadilan publik.

“KY harus melihat lebih jauh soal maraknya vonis ringan dalam kasus korupsi. Sementara itu, penegak hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan juga harus merespons tren ini, tidak hanya dalam aspek penindakan, tetapi juga pencegahan,” ujarnya.

Yudi menekankan bahwa ketika jaksa penuntut umum sudah mampu membuktikan seluruh unsur pidana dengan alat bukti yang kuat di persidangan, maka seharusnya vonis yang dijatuhkan pun proporsional, agar publik percaya terhadap sistem peradilan pidana yang berlaku.

“Kalau ternyata vonisnya terlalu ringan dan jauh dari logika keadilan, padahal bukti kuat sudah disampaikan di pengadilan, ini bisa mencederai rasa keadilan masyarakat,” tutupnya.

Tiga Terdakwa Korupsi Divonis Lebih Ringan

Diketahui, tiga terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan APD COVID-19 divonis dengan pidana penjara antara 3 hingga 11,5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis (5/6). Para terdakwa tersebut adalah:

Budi Sylvana, mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI, dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan. Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Ahmad Taufik, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri, divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan, serta diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 224,18 miliar. Jika tidak dibayar, diganti dengan kurungan 4 tahun.

Satrio Wibowo, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, divonis 11 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Ia juga dikenai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 59,98 miliar, dengan subsider 3 tahun kurungan.

Kendati vonis ini menyatakan para terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi, banyak pihak menilai bahwa pidana penjara yang dijatuhkan belum mencerminkan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Putusan ini pun menjadi sorotan luas publik, terutama di tengah harapan agar pelaku korupsi ditindak secara tegas, tanpa kompromi.

 

Sumber:

https://news.detik.com/berita/d-7952701/eks-penyidik-kpk-heran-terdakwa-korupsi-apd-covid-divonis-ringan-suram

Berita Terkait